Rabu, 29 Mei 2013

Fenomena PILKADA Malang, Jatim

Sebagaimana diketahui masyarakat kota Malang mempunyai hajat besar, yakni memilih pemimpin mereka (walikota dan wakil wali kota) periode 2013-2018 menggantikan Walikota Drs. Peni Suparto, M.AP yang sudah menjabat selama dua periode. Pemilihan yang dilakukan pada 23 Mei 2013 ini kemaren. Sesuai dinamika yang terjadi hajatan politik lima tahunan tersebut juga menyajikan fenomena yang menarik untuk dikaji sejenak secara akademik.
Pertama, selain memasang foto di hampir semua tempat-tempat strategis dan di ruang-ruang publik, semua calon membuat singkatan nama calon dan pasangannya. Misalnya, Dwi Cahyono-Nuruddin disingkat “DWI-UDDIN”, pasangan Achmad Mujais-Yunar Mulya disingkat “RAJA” , pasangan Moch. Anton-Sutiaji disingkat  “AJI”, Heri Pudji Utami dan Sofyan Edi Jarwoko (disingkat DaDi), pasangan Sri Rahayu-Priyatmoko Oetomo disingkat SR-MK, dan pasangan Agus Dono-Arif H.S disingkat “DOA”. Tujuannya tidak lain adalah untuk memudahkan diingat dan lebih komunikatif. Tanpa disadari  atau tidak, para pelaku politik di kota Malang  telah memanfaatkan kekuatan bahasa dan simbol sebagai piranti menggapai kekuasaan dan tidak semata menggunakan sumber ekonomi sebagai instrumen utama. Di balik singkatan, slogan dan wara serta bentuk pakaian para politisi terdapat suatu konsep yang bekerja di dalam suatu sistem politik, khususnya dalam ranah komunikasi politik. Dari sisi komunikasi politik, di antara singakatan nama para calon, singkatan DOA (Agus Dono dan Arif H.S) yang paling efektif, karena mudah mengingatnya.
Kedua, semua calon  membuat slogan-slogan sesuai visi, dan misi yang diperjuangkan lengkap dengan warna dan model pakaian masing-masing. Misalnya, pasangan Heri Pudji Utami dan Sofyan Edi Jarwoko memilih jargon Pas Manteb, pasangan Dwi Cahyono-Nuruddin memilih “Blak-Blakan APBD” sebagai jargon, pasangan Sri Rahayu-Priyatmoko Oetomo memilih “Saatnya Kota Malang Lebih Baik”, sedangkan pasangan M.Anton dan Sutiaji memilih jargon “Peduli Wong Cilik”. Jargon terakhir ini sudah sangat sering dipakai oleh para calon kepala daerah, sehingga tidak lagi memiliki daya tarik.
Dibanding yang lain, berdasarkan daya tarik dan isinya, jargon pasangan  Dwi Cahyono-Nuruddin yakni “Blak-Blakan APBD” menarik untuk dikaji. Ketika menjadi panelis debat publik cawali dan cawawali Malang Sabtu, 9 Maret 2013 lalu yang bertemakan pendidikan, maksud jargon tersebut dan apa pandangan mereka tentang APBD selama ini. Pasangan tersebut menjawab selama ini masyarakat buta tentang APBD atau memang sengaja dibutakan mengenai jumlah riel, untuk apa, di mana saja tempatnya dan digunakan untuk apa saja, serta apa hasilnya. Menurut pasangan ini, rakyat wajib mengetahui semua mengenai APBD. Dengan “Blak-Blakan APBD”, pasangan ini menginginkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan APBD.  Rakyat perlu diberi kesempatan bertanya apa saja mengenai APBD. Sebab, selama ini di mata pasangan ini eksekutif tidak transparan mengenai APBD. Jaman sudah berubah. Rakyat wajib tahu semua anggaran yang dikelola pemerintah. Menurut saya, jargon pasangan-pasangan yang lain tidak cukup memiliki resonansi yang mampu menggerakkan dan menggetarkan hati para peminat pilkada Malang.
Begitu juga cawali Heri Pudji Utami yang selalu menyebut dirinya Bundanya Arek Malang bermaksud menyajikan dirinya sebagai seorang ibu yang siap melayani kebutuhan anaknya. Pilihan kata “Bunda” juga tidak lepas dari perannya selama ini sebagai istri walikota saat ini. Seperti halnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang hingga kini menyebut dirinya Pak De, dengan “Bunda”nya Heri Pudji Utami ingin membangun relasi yang lebih dekat dengan rakyat dan siap melayani serta menerima keluhan warganya, layaknya  seorang ibu.  Sebutan Pak De untuk Soekarwo ternyata menjadi piranti komunikasi politik yang sangat ampuh untuk mendekatkan jarak antara pemimpin dengan rakyat. Kemana-mana Soekarwo selalu menyebut dirinya Pak De-nya semua warga Jawa Timur. Di forum resmi, Soekarwo biasa menggunakan sebutan Pak De, dan terasa lebih komunikatif di telinga masyarakat Jawa Timur.
Kembali ke pembahasan di atas, semua yang ditampilkan para calon walikota dan wakilnya merupakan strategi politik untuk menggapai kekuasaan. Masyarakat tidak perlu terkecoh dengan semua itu. Semua visi, misi, jargon dan atribut-atribut politik para calon hakikatnya adalah janji-janji politik yang tentu saja masih perlu ditunggu realisasinya. Pada akhirnya, pilihan warga berpulang pada hati nurani masing-masing. Sekarang tergantung pada para calon itu sendiri untuk bisa menentukan pilihan mereka.
Kemenangan mutlak yang dicapai oleh pasangan Abah Anton ini mempunyai keistimewaan tersendiri, kemurahan hati kader NU yang dikenal tidak banyak berjanji ini telah mampu menciptakan fanatisme khusus, utamanya di kalangan muslimat yang selama beberapa kali berlangsungnya Pilkada baik Kota Malang maupun Jatim ini memang terbukti manjadi basis utama pemilih yang mampu memenangkan Pilkada