Pertama, selain memasang foto di
hampir semua tempat-tempat strategis dan di ruang-ruang publik, semua calon
membuat singkatan nama calon dan pasangannya. Misalnya, Dwi Cahyono-Nuruddin
disingkat “DWI-UDDIN”, pasangan Achmad Mujais-Yunar Mulya disingkat “RAJA” ,
pasangan Moch. Anton-Sutiaji disingkat “AJI”, Heri Pudji Utami dan Sofyan
Edi Jarwoko (disingkat DaDi), pasangan Sri Rahayu-Priyatmoko Oetomo disingkat
SR-MK, dan pasangan Agus Dono-Arif H.S disingkat “DOA”. Tujuannya tidak lain
adalah untuk memudahkan diingat dan lebih komunikatif. Tanpa disadari
atau tidak, para pelaku politik di kota Malang telah memanfaatkan
kekuatan bahasa dan simbol sebagai piranti menggapai kekuasaan dan tidak semata
menggunakan sumber ekonomi sebagai instrumen utama. Di balik singkatan, slogan
dan wara serta bentuk pakaian para politisi terdapat suatu konsep yang bekerja
di dalam suatu sistem politik, khususnya dalam ranah komunikasi politik. Dari
sisi komunikasi politik, di antara singakatan nama para calon, singkatan DOA (Agus
Dono dan Arif H.S) yang paling efektif, karena mudah mengingatnya.
Kedua,
semua calon membuat slogan-slogan sesuai visi, dan misi yang
diperjuangkan lengkap dengan warna dan model pakaian masing-masing. Misalnya,
pasangan Heri Pudji Utami dan Sofyan Edi Jarwoko memilih jargon Pas Manteb,
pasangan Dwi Cahyono-Nuruddin memilih “Blak-Blakan APBD” sebagai jargon,
pasangan Sri Rahayu-Priyatmoko Oetomo memilih “Saatnya Kota Malang Lebih Baik”,
sedangkan pasangan M.Anton dan Sutiaji memilih jargon “Peduli Wong Cilik”.
Jargon terakhir ini sudah sangat sering dipakai oleh para calon kepala daerah,
sehingga tidak lagi memiliki daya tarik.
Dibanding yang lain, berdasarkan
daya tarik dan isinya, jargon pasangan Dwi Cahyono-Nuruddin yakni
“Blak-Blakan APBD” menarik untuk dikaji. Ketika menjadi panelis debat publik
cawali dan cawawali Malang Sabtu, 9 Maret 2013 lalu yang bertemakan pendidikan,
maksud jargon tersebut dan apa pandangan mereka tentang APBD selama ini.
Pasangan tersebut menjawab selama ini masyarakat buta tentang APBD atau memang
sengaja dibutakan mengenai jumlah riel, untuk apa, di mana saja tempatnya dan
digunakan untuk apa saja, serta apa hasilnya. Menurut pasangan ini, rakyat
wajib mengetahui semua mengenai APBD. Dengan “Blak-Blakan APBD”, pasangan ini
menginginkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan APBD. Rakyat perlu
diberi kesempatan bertanya apa saja mengenai APBD. Sebab, selama ini di mata
pasangan ini eksekutif tidak transparan mengenai APBD. Jaman sudah berubah.
Rakyat wajib tahu semua anggaran yang dikelola pemerintah. Menurut saya, jargon
pasangan-pasangan yang lain tidak cukup memiliki resonansi yang mampu
menggerakkan dan menggetarkan hati para peminat pilkada Malang.
Begitu juga cawali Heri Pudji Utami yang selalu menyebut
dirinya Bundanya Arek Malang bermaksud menyajikan dirinya sebagai seorang ibu
yang siap melayani kebutuhan anaknya. Pilihan kata “Bunda” juga tidak lepas
dari perannya selama ini sebagai istri walikota saat ini. Seperti halnya
Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang hingga kini menyebut dirinya Pak De, dengan
“Bunda”nya Heri Pudji Utami ingin membangun relasi yang lebih dekat dengan
rakyat dan siap melayani serta menerima keluhan warganya, layaknya
seorang ibu. Sebutan Pak De untuk Soekarwo ternyata menjadi piranti
komunikasi politik yang sangat ampuh untuk mendekatkan jarak antara pemimpin dengan
rakyat. Kemana-mana Soekarwo selalu menyebut dirinya Pak De-nya semua warga
Jawa Timur. Di forum resmi, Soekarwo biasa menggunakan sebutan Pak De, dan
terasa lebih komunikatif di telinga masyarakat Jawa Timur.
Kembali
ke pembahasan di atas, semua yang ditampilkan para calon walikota dan wakilnya
merupakan strategi politik untuk menggapai kekuasaan. Masyarakat tidak perlu
terkecoh dengan semua itu. Semua visi, misi, jargon dan atribut-atribut politik
para calon hakikatnya adalah janji-janji politik yang tentu saja masih perlu
ditunggu realisasinya. Pada akhirnya, pilihan warga berpulang pada hati nurani
masing-masing. Sekarang tergantung pada para calon itu sendiri untuk bisa
menentukan pilihan mereka.
Kemenangan
mutlak yang dicapai oleh pasangan Abah Anton ini mempunyai keistimewaan
tersendiri, kemurahan hati kader NU yang dikenal tidak banyak berjanji ini
telah mampu menciptakan fanatisme khusus, utamanya di kalangan muslimat yang
selama beberapa kali berlangsungnya Pilkada baik Kota Malang maupun Jatim ini
memang terbukti manjadi basis utama pemilih yang mampu memenangkan Pilkada